Jakarta, 22 Juli 2025 | Fraud Korporasi & Kreditor | TheAuditorPost.com
Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) baru saja menetapkan delapan tersangka tambahan dalam kasus skandal kredit bermasalah pada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), sebuah produsen tekstil terbesar di Asia Tenggara, yang telah dinyatakan pailit sejak akhir 2024. Penyelidikan mengungkap dugaan praktik fraud kredit dengan kerugian diperkirakan mencapai Rp1,08 triliun, yang melibatkan kolusi antara eksekutif dan pejabat bank daerah.
Menurut pernyataan resmi Jampidsus, delapan tersangka ini meliputi mantan direktur keuangan Sritex dan sejumlah pejabat senior dari tiga bank pembangunan daerah: Bank DKI, Bank BJB, dan Bank Jateng. Tuduhan utama mencakup persetujuan kredit tanpa analisis kelayakan yang memadai, pemalsuan faktur untuk mendapatkan pinjaman, serta penyalahgunaan dana pinjaman untuk membayar utang internal dan membeli aset bukan produktif.
Skandal ini bermula ketika Sritex mendapatkan fasilitas kredit dari bank-bank tersebut meski kondisi keuangannya sangat rapuh. Persetujuan pinjaman justru diberikan di tengah penurunan rating perusahaan dan tanpa jaminan memadai—langkah yang seharusnya kontra terhadap prinsip kredit yang prudent.
Selanjutnya, hasil audit awal oleh BPK mencatat bahwa sekitar Rp1,08 triliun diidentifikasi sebagai kerugian negara, dari fasilitas pinjaman tahap pertama. Sementara itu, pengusutan potensi skema pinjaman tahap kedua—melibatkan bank seperti BRI, BNI, dan LPEI—sedang berjalan, dengan perkiraan kerugian tambahan mencapai Rp2,5 triliun.
Proses penyidikan melibatkan pemeriksaan terhadap 175 saksi dan satu ahli, serta pemeriksaan dokumen internal para bank. Para tersangka kini tengah menjalani pemeriksaan dan penahanan di Kejaksaan Agung, dengan masa tahanan awal selama 20 hari.
Kejadian ini mencerminkan persoalan serius dalam tata kelola lembaga keuangan dan perbankan daerah. Selain meningkatkan risiko moral hazard, kasus ini juga menunjukkan celah besar pada sistem pengendalian kualitas kredit, pengawasan internal bank, dan independensi auditor eksternal.
Para pengamat hukum dan tata kelola memperingatkan bahwa skema seperti ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan publik. Mereka mendorong penerapan prinsip piercing the corporate veil—untuk menuntut pertanggungjawaban secara pribadi bagi eksekutif yang menggunakan entitas korporasi untuk memperkaya diri secara ilegal.
Sumber:
- Reuters
- Pikiran Rakyat
- ANTARA News
- DialeK.ID